KI HAJAR DEWANTARA (1889-1959): SOSOK YANG KERAS
Sebagai tokoh pendidikan, Ki Hajar Dewantara
tidak seperti Ivan Illich atau Rabrindranath Tagore yang sempat menganggap
sekolah sebagai siksaan yang harus segera dihindari. Ki Hajar berpandangan
bahwa melalui pendidikan akan terbentuk kader yang berpikir, berperasaan, dan
berjasad merdeka serta percaya akan kemampuan sendiri. Arah pendidikannya
bernafaskan kebangsaan dan berlanggam kebudayaan.
Seorang tokoh seperti
Ivan Illich pernah berseru agar masyarakat bebas dari sekolah. Niat deschooling tersebut berangkat dari
anggapan Ivan Illich bahwa sekolah tak ubahnya pabrik yang mencetak anak didik
dalam paket-paket yang sudah pasti. “…bagi banyak orang, hak belajar sudah
digerus menjadi kewajiban menghadiri sekolah”, kata Illich. Demikian pula
halnya dengan Rabindranath Tagore yang sempat menganggap sekolah seakan-akan sebuah
penjara. Yang kemudian ia sebut sebagai “siksaan yang tertahankan”.
Ada benarnya ketika
setiap pendidikan harus mampu mengarah dan mengubah status quo. Dan ini tidak
berarti benar ketika menganggap sekolah tidak penting. Anak-anak dengan senang
hati, umumnya masih berangkat ke sana. Kita, dan mereka, tahu; bukan mata
pelajaran serta ruang kelas itu yang membikin mereka betah. Melainkan teman dan
pertemuan. Bisa saja, Illich dan Tagore keliru. Sekolah juga keliru bila ia
tidak tahu diri bahwa peranannya tidak seperti yang diduga selama ini. Ia bukan penentu
gagal tidaknya seorang anak. Ia tak berhak menjadi perumus masa depan.
Namun, banyak kalangan
sering menyejajarkan Ki Hajar Dewantara dengan Rabindranath Tagore, seorang
pemikir, pendidik, dan pujangga besar kelas dunia yang telah berhasil
meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional India, karena mereka bersahabat dan
memang memiliki kesamaan visi dan misi dalam perjuangannya memerdekakan
bangsanya dari keterbelakangan.
Tagore dan Ki Hajar sama-sama dekat
dengan rakyat, cinta kemerdekaan dan bangga atas budaya bangsanya sendiri.
Tagore pernah mengembalikan gelar kebangsawanan (Sir) pada raja Inggris sebagai
protes atas keganasan tentara Inggris dalam kasus Amritsar Affair. Tindakan
Tagore itu dilatarbelakangi kecintaannya kepada rakyat. Begitu juga halnya
dengan ditanggalkannya gelar kebangsawanan (Raden Mas) oleh Ki Hajar. Tindakan
ini dilatarbelakangi keinginan untuk lebih dekat dengan rakyat dari segala
lapisan. Antara Ki Hajar dengan Tagore juga merupakan sosok yang sama-sama
cinta kemerdekaan dan budaya bangsanya sendiri. Dipilihnya bidang pendidikan
dan kebudayaan sebagai medan perjuangan tidak terlepas dari “strategi” untuk
melepaskan diri dari belenggu penjajah. Adapun logika berpikirnya relatif sederhana;
apabila rakyat diberi pendidikan yang memadai maka wawasannya semakin luas,
dengan demikian keinginan untuk merdeka jiwa dan raganya tentu akan semakin
tinggi.
Di barat, Paulo Freire
hadir dengan konsep pendidikan pembebasan. Di sini, Ki Hajar Dewantara menjadi
pahlawan pendidikan nasional karena pendidikan sistem among yang ia kembangkan
di taman siswa. Ungkapannya sangat terkenal; “tut wuri handayani”, “ing madya
mangun karsa”, dan “ing ngarsa sung tulada”. Istilah inipun tak hanya populer di kalangan
pendidikan, tetapi juga pada berbagai aspek kehidupan lain.
Siapakah sebenarnya
tokoh pelopor pendidikan bangsa ini?
Siapa sih, yang tidak
kenal dengan tokoh yang satu ini? Pejuang gigih, politisi handal, guru besar
bangsa, pendiri Taman Siswa, memang sudah diakui oleh sejarah. Tapi sebagai
pribadi yang keras tapi lembut, ayah yang demokratis, sosoknya yang sederhana,
penggemar barang bekas, belum banyak orang tahu. Bahkan bagaimana tiba-tiba dia
dipanggil dengan nama Ki Hajar Dewantara juga belum banyak yang tahu.
Tokoh peletak dasar
pendidikan nasional ini terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat,
dilahirkan di Yogyakarta pada hari Kamis, tanggal 2 Mei 1889. Ia berasal dari
lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Pendidikan dasarnya diperoleh di Sekolah
Dasar ELS (sekolah dasar Belanda) dan setelah lulus, ia meneruskan ke STOVIA
(sekolah kedokteran Bumi putera) di Jakarta, tetapi tidak sampai selesai.
Kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedya Tama,Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, danPoesara. Ia tergolong penulis
tangguh pada masanya; tulisan-tulisannya sangat tegar dan patriotik serta mampu
membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain menjadi seorang
wartawan muda R.M. Soewardi juga aktif dalamorganisasi sosial dan politik, ini
terbukti di tahun 1908 dia aktif di Boedi Oetama dan mendapat tugas yang cukup
menantang di seksi propaganda. Dalam seksi propaganda ini dia aktif untuk mensosialisasikan
dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya
kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Setelah itu pada tanggal
25 Desember 1912 dia mendirikan Indische Partij yang bertujuan mencapai
Indonesia merdeka, organisasi ini didirikan bersama dengan dr. Douwes Dekker
dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo. Organisasi ini berusaha didaftarkan status badan
hukumnya pada pemerintahan kolonial Belanda tetapi ditolak pada tanggal 11
Maret 1913, yang dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil
pemerintah Belanda di negara jajahan. Alasan penolakannya adalah karena
organisasi ini dianggap oleh penjajah saat itu dapat membangkitkan rasa
nasionalisme rakyat dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang
pemerintah kolonial Belanda !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar